Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

#19 Faedah dari Kitab Tauhid : JIMAT UNTUK MENGUSIR ATAU MENANGKAL BAHAYA



#19  Faedah dari Kitab Tauhid

 

JIMAT UNTUK MENGUSIR ATAU MENANGKAL BAHAYA

 

Hakikat Jimat atau Tamimah

Tamimah (jimat) pada masa jahiliyyah adalah sesuatu yang dikalungkan pada anak kecil atau binatang dengan maksud untuk menolak ‘ain (‘ain adalah pengaruh buruk pandangan mata yang disertai oleh kedengkian). Namun hakekat tamimah tidak terbatas pada bentuk dan kasus tertentu. Akan tetapi mencakup semua benda dari bahan apa pun, baik yang dipakai, dikalungkan, maupun digantungkan di tempat mana pun dengan maksud untuk mengusir atau menangkal marabahaya dengan berbagai macam bentuknya.

Dengan demikian, tamimah bisa berupa kalung, cincin, sabuk, atau benda-benda yang digantungkan pada tempat tertentu seperti di atas pintu rumah, di kendaraan, dan lain-lain dengan maksud untuk mengusir atau tolak bala’.

 

Hukum-Hukum Mengambil Sebab

Untuk memperoleh pemahaman yang benar dalam pembahasan mengenai jimat atau tamimah, maka hal ini sangat tergantung dengan pemahaman tentang hukum–hukum dalam mengambil sebab. Yang dimaksud dengan “mengambil sebab” di sini adalah seseorang melakukan suatu usaha (“sebab”) untuk dapat meraih apa yang dia inginkan.

 

Ada tiga hal yang harus diketahui oleh seseorang terkait dengan pengambilan sebab, yaitu:


1.  Sebab yang diambil harus yang terbukti secara Syar’i atau Qadari

Sebab yang diambil harus yang terbukti secara syar’i atau qadari. Secara syar’i maksudnya adalah Al-Qur’an atau As-Sunnah telah menunjukkan bahwa sesuatu tersebut memang merupakan penyebab terjadi atau tidak terjadinya sesuatu.

Contohnya adalah amal shalih merupakan sebab untuk masuk surga. Demikian pula dengan bertakwa yang merupakan sebab untuk mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan urusan dan sebab untuk mendapatkan kelapangan rizki. Karena Allah Ist berfirman,


وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّه مَخْرَجًا وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُه


”Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya“. (QS. Ath-Thalaq : 2-3)

Secara Qadari maksudnya bahwa Sunnatullah, pengalaman, atau penelitian ilmiah menyatakan bahwa sesuatu tersebut merupakan sebab yang menyebabkan terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu yang lain.

Contoh:

-      Makan merupakan sebab untuk kenyang.

-      Berkendaraan adalah sebab untuk mempercepat perjalanan untuk mencapai tujuan.

-      Memakai jaket merupakan sebab untuk melindungi diri dari pengaruh angin, dan lain-lain.

 

Sebab yang terbukti secara qadari ini terbagi menjadi dua macam, yaitu sebab yang halal dan sebab yang haram.

-      Contoh sebab yang halal: belajar agar menjadi pintar.

-      Contoh sebab yang haram: korupsi agar mendapatkan harta yang banyak.

 

2. Hatinya tetap bergantung kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bukan kepada sebab tersebut.


Maksudnya, ketika mengambil sebab tersebut hatinya senantiasa ber-tawakkal memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala  demi berpengaruhnya sebab tersebut. Hatinya tidak condong kepada sebab tersebut, sehingga menyebabkan hatinya justru merasa tenang kepada sebab dan bukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

 Contoh:

-      Seseorang yang merasa pasti akan berhasil ketika telah memperhitungkan segala sesuatu dan segala kemungkinan yang akan terjadi, maka ada indikasi bahwa dia telah bersandar kepada sebab.

-    Seseorang yang merasa kecewa berat atas sebuah kegagalan, padahal dia merasa sudah mengambil sebab sebaik–baiknya, maka ada indikasi bahwa dia telah bersandar kepada sebab.

 

3.   Tetap memiliki keyakinan bahwa betapa pun hebatnya keampuhan sebuah sebab, namun berpengaruh atau tidaknya sebab tersebut tergantung hanya kepada taqdir Allah Subhanahu Wa Ta'ala


Artinya, jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menghendaki sebab itu berpengaruh sebagaimana sunnatullah-Nya, maka sebab tersebut akan menimbulkan pengaruhnya. Akan tetapi, jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala  menghendaki sebab itu tidak berpengaruh, maka sebab tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa.

Contoh:

-    Api yang berkobar, yang secara sunnatullah-Nya membakar, namun ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menghendaki lain, justru api itu menjadi dingin seperti kisah Nabi Ibrahim 'Alaihi salam  .

 

-   Seorang wanita yang sedang hamil tua secara sunatullah tidak mampu menggoyang pohon kurma demi jatuhnya kurma yang ada. Namun ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala  menghendaki, maka bergoyanglah pohon kurma tersebut dengan sebab kekuatan seorang wanita yang sedang hamil tua, seperti kisah Maryam. 

 

Terkait dengan ketiga hal di atas, maka dalam hal mengambil sebab, keadaan seseorang dapat dirinci sebagai berikut.


a. Seseorang yang mengambil sebab dengan memenuhi seluruh kriteria di atas, merupakan bukti atas kebenaran tauhidnya.

 

b. Seseorang yang memenuhi seluruh kriteria di atas, akan tetapi dengan sebab qadari yang haram, maka hal ini merupakan kemaksiatan, dan bukan kesyirikan.

 

c. Seseorang yang tidak memenuhi kriteria pertama, maka dihukumi syirik kecil selama tidak ada unsur pengabdian kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala  dan termasuk syirik dhohir. Hal ini juga merupakan kedustaan atas nama syari’at dan taqdir.

 

d. Seseorang yang tidak memenuhi kriteria kedua, maka dihukumi syirik kecil dan termasuk syirik khofi.

 

e. Seseorang yang tidak memenuhi kriteria ketiga, maka dihukumi syirik akbar karena telah meyakini adanya pencipta selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

 

Hukum Tamimah

Ditinjau dari bentuknya, terdapat dua macam tamimah, yaitu tamimah yang berupa Al-Qur’an dan non Al-Qur’an.

1. Jika tamimah itu berupa Al- Qur’an, maka kalangan sahabat dan tabi’in berselisih pendapat tentang bolehnya menggantungkan jimat dari Al-Qur’an atau yang berupa nama dan sifat Allah Subhanahu Wa Ta'ala (asmaul husna). Namun, pendapat yang lebih tepat adalah hukumnya tetap haram. Meskipun hal tersebut tidak sampai kepada derajat syirik, karena dia bersandar kepada kalamullah, dan bukan kepada makhluk.

 

Ada tiga alasan mengapa tamimah dari Al-Qur’an (atau berupa asmaul husna) tetap haram, yaitu:

 

-      Keumuman dalil larangan tamimah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

-      Untuk mencegah adanya pemakaian tamimah dari non Al-Qur’an.

-      Akan menyebabkan pelecehan Al-Qur’an karena jimat tersebut akan tetap dipakai ketika buang air besar, dan lain sebagainya.

 

2. Jika tamimah itu berupa non Al-Qur’an, maka hukumnya haram dan merupakan kesyirikan. Besar kecilnya syirik tersebut tergantung dari keyakinannya.

 

-   Jika tamimah tersebut hanya diyakini sebagai sebab semata, tidak memiliki kekuatan sendiri (sebab tersebut menimbulkan pengaruh karena kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala), maka hal ini termasuk syirik ashghar. Dan termasuk syirik dalam masalah uluhiyyah karena hatinya telah bersandar kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

-   Jika tamimah tersebut diyakini memiliki kekuatan tersendiri (sebab itu dapat terjadi tanpa kehendak Allah Subhanahu Wa Ta'ala), maka hal ini termasuk syirik akbar, yaitu syirik dalam masalah rububiyyah karena dia telah menisbatkan (menyandarkan) penciptaan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

 

Dalil-Dalil Tentang Keharaman dan Kesyirikan Tamimah

 

1.   Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ قُلْ اَفَرَءَيْتُمْ مَّا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ اَرَادَنِيَ اللّٰهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كٰشِفٰتُ ضُرِّه اَوْ اَرَادَنِيْ بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكٰتُ رَحْمَتِه قُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُوْنَ

 

“Dan  sungguh  jika  kamu  bertanya  kepada  mereka,  ‘Siapakah  yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka menjawab, ‘Allah’. Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah. Jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu? Atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri”. (QS. Az-Zumar : 38)

 

Bukti pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa berhala-berhala tersebut tidak mampu memberikan manfaat atau menolak mudharat bagi para penyembahnya. Maka hal ini menunjukkan bahwa beribadah kepada berhala bukan merupakan sebab untuk memperoleh manfaat atau menolak mudharat. Keadaannya dapat di-qiyas-kan (di-analogi-kan) kepada para pengguna tamimah yang telah mengambil sesuatu sebagai sebab, padahal sesuatu tersebut bukan merupakan sebab untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Demikian juga para pengguna tamimah telah bersandar kepada selain Allah seperti kaum musyrikin yang telah bergantung kepada sesembahan mereka.

 

2.   Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  melihat seorang laki-laki yang di terdapat gelang terbuat dari kuningan. Maka beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya,

 

مَا هَذِهِ؟  قَالَ: مِنَ اْلوَاهِنَةِ. فَقَالَ: اِنْزِعْهَا فَإِنَّهَا لاَ تَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْناً، فَإِنَّكَ لَوْ مُتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً

Apakah ini?” Orang itu menjawab, “Penangkal sakit”. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam  pun bersabda, “Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Sebab jika kamu mati , sedangkan gelang itu masih ada pada tubuhmu, kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”. (HR. Ahmad dengan sanad yang bisa diterima)

 

3.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً، فَلَا أَتَمَّ اللهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً، فَلَا وَدَعَ اللهُ لَهُ

“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya. Dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya”. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad 4/154, dll)

 

Disebutkan dalam riwayat lain,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barang siapa menggantungkan tamimah, maka dia telah berbuat syirik”. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad 4/156, dll)

 

Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mendo’akan kejelekan bagi pemakai tamimah, maka hal ini merupakan bukti bahwa menggantungkan tamimah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa tamimah adalah kesyirikan.

 

4. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, bahwa dia melihat seorang laki-laki yang di tangannya ada benang yang dipakai untuk mengobati sakit panas. Maka Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu  memutuskan benang itu seraya membaca firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,


وَمَا يُؤْمِنُ اَكْثَرُهُمْ بِاللّٰهِ اِلَّا وَهُمْ مُّشْرِكُوْنَ


“Dan sebagian besar dari mereka itu beriman kepada Allah, hanya saja mereka pun berbuat syirik (kepada-Nya)”. (QS. Yusuf : 106)

Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu  memahami bahwa tamimah merupakan kesyirikan.

Oleh karena itu, beliau membawakan firman Allah I tersebut di atas.

 

5.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  bersabda,

لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ، أَوْ قِلاَدَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ

“Tidak boleh membiarkan kalung dari tali busur panah di leher unta kecuali harus diputuskan”. (HR. Al-Bukhari 3005, Muslim 2115)

 

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  melarang hal itu karena mereka meyakini bahwa kalung dari tali busur panah dapat menolak ‘ain.

 

6.  Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik”.(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dari hadits di atas, sangat jelas bahwa tamimah merupakan kesyirikan.

 

7.  Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

“Barangsiapa menggantungkan sesuatu (dengan anggapan bahwa sesuatu itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada sesuatu tersebut”. (HR. Ahmad 1/381 dan Abu Dawud 3883)

 

Hadits ini menunjukkan bahwa pemakai tamimah akan terlantar dan tidak akan mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Ini merupakan bukti bahwa tamimah sangat tercela.

 

8.  Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepada Ruwaifi’ Radhiyallahu 'anhu ,

يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي، فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ، أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنْهُ

 

“Hai Ruwaifi’ , semoga engkau berumur panjang. Untuk itu , sampaikanlah kepada orang-orang bahwa siapa saja yang menggelung jenggotnya atau memakai kalung dari tali busur panah atau beristinja’ dengan kotoran binatang   ataupun dengan tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri dari semua itu”. (HR. Ahmad 4/108 dan Abu Dawud 36)

Berlepas dirinya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam  dari pemakai tamimah merupakan bukti bahwa hal itu merupakan dosa besar.

 

Abu Musyaffa'  Hardadi

 

Maraji’ :

- Mutiara Faidah Kitab Tauhid karangan Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam Hafizhahullahu Ta’ala. (Hal. 62-70)

 

 

 


Abu Musyaffa' Hardadi
Abu Musyaffa' Hardadi Hamba Allah

Posting Komentar untuk "#19 Faedah dari Kitab Tauhid : JIMAT UNTUK MENGUSIR ATAU MENANGKAL BAHAYA"