40 KEUTAMAAN ILMU DI BANDINGKAN HARTA
40 KEUTAMAAN
ILMU DI BANDINGKAN HARTA
Ilmu
memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Terkhususnya ilmu agama. Orang yang
memiliki ilmu agama maka dia mendapatkan keutamaan yang sangat besar. Ilmu
agama lebih utama di bandingkan dengan harta. berikut saya akan menyebutkan
keutamaan-keutamaan ilmu agama di bandingkan dengan harta. Yang saya ambil dari
kitab Miftah Daaris Sa’adah
karangan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullahu Ta’ala.
Di antara keutamaan ilmu di bandingkan harta
adalah :
1.
Ilmu adalah warisan para nabi, sedang
harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
2.
Ilmu menjaga pemiliknya, sedangkan
pemilik harta justru harus menjaga hartanya.
3.
Harta lenyap bila dinafkahkan, tapi
ilmu semakin berkembang dengan diajarkan.
4. Bila meninggal pemilik harta berpisah
dengan hartanya, tetapi ilmu masuk ke
kubur bersama pemiliknya.
5.
Ilmu mengatur harta, tapi harta tidak
dapat mengatur ilmu.
6.
Harta dapat diperoleh oleh orang
mukmin dan kafir, orang baik dan jahat,
tapi ilmu yang bermanfaat hanya dapat dicapai oleh orang mukmin.
7. Ilmu dibutuhkan oleh para raja dan
orang-orang di bawahnya, sedang harta
hanya diperlukan oleh orang-orang miskin dan papa.
8. Jiwa manusia menjadi mulia dan suci
dengan mengumpulkan dan menuntut
ilmu, karena ilmu adalah elemen kesempurnaan jiwa. Tapi, harta tidak memberi
sifat kesempurnaan pada jiwa. Sebaliknya, jiwa selalu merasa kurang, kikir dan
bakhil karena menumpuk-numpuk harta. Jadi, 'rakusnya' seseorang pada ilmu
menunjukkan kesempurnaan jiwanya, dan serakahnya seseorang pada harta menjadi
bukti kekurangannya.
9. Harta menyebabkan jiwa angkuh,
sombong, dan berbuat dosa. Tapi ilmu
mendorongnya untuk tawadhu' dan
melaksanakan tuntutan 'ubudiyah.
Karena harta mengarahkan jiwa kepada sifat-sifat para raja, sedang ilmu
mengarahkan kepada sifat-sifat hamba.
10. Ilmu mempunyai daya tarik yang
mengantarkan jiwa kepada kebahagiaan
hakiki, sedang harta justru menjadi tirai penghalang untuk mencapai
kebahagiaan.
11. Kaya ilmu lebih mulia daripada kaya
harta, karena orang yang kaya harta,
kaya dengan barang di luar hakikat manusia, kalau tiba-tiba hartanya hilang, ia
menjadi miskin dan hina. Akan tetapi, orang yang kaya ilmu tidak
mengkhawatirkan kemiskinan, bahkan ilmunya senantiasa bertambah. Dialah orang
kaya yang sebenarnya
12. Harta memperbudak orang yang mencintai dan memilikinya, seperti disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
"Celakalah budak dinar dan dirham." (HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah)
Sedangkan, ilmu menjadikan pemiliknya hamba tuhan, sang pencipta. Ilmu tidak akan mengajak selain 'ubudiyah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata.
13. Mencintai dan menuntut ilmu adalah
pangkal segala ibadah, sedang cinta
dunia dan memburu harta adalah pangkal semua kejahatan.
14. Harga orang kaya adalah pada hartanya,
sedang nilai ulama adalah ilmunya.
Orang kaya bernilai karena harta yang ia miliki. Apabila hartanya habis, maka
nilainya hilang. Ia tidak lagi berharga. Sedang orang alim nilainya tidak
pernah lenyap, bahkan selalu berlipat ganda dan bertambah.
15. Hakikat harta sama dengan hakikat raga
dan hakikat ilmu sama dengan hakikat
ruh. Kata Yunus bin Habib, "Ilmumu adalah bagian dari jiwamu, dan hartamu
adalah bagian dari ragamu." Perbedaan antara keduanya seperti perbedaan
antara ruh dan jasad.
16. Kalau ulama ditawari seisi dunia
dengan imbalan ilmu yang ia miliki,
ia tidak menerima dunia dengan semua isinya itu sebagai ganti dari ilmunya.
Sedang orang kaya yang berakal jika melihat keutamaan ilmu dan kesempurnaan
manusia dengan ilmu itu, maka ia akan berangan-angan seandainya seluruh
kekayaan yang dimilikinya adalah ilmu belaka.
17. Tak ada seorang pun yang menunaikan
ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala selain dengan ilmu, tetapi kebanyakan orang yang durhaka kepada-Nya
adalah dengan sarana harta.
18. Orang alim mengajak manusia kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan ilmu
dan perilakunya. Tapi, pengumpul harta mengajak mereka kepada dunia dengan perilaku
dan hartanya.
19. Kaya harta terkadang menjadi bumerang
bagi pemiliknya karena harta
disenangi oleh jiwa manusia. Apabila mereka melihat orang yang menguasai apa
yang mereka senangi tersebut, mereka akan berusaha merebutnya dan mencelakakan
pemiliknya sebagaimana telah banyak terjadi. Tapi, kaya ilmu adalah sebab hidupnya
diri ulama dan diri orang lain. Apabila manusia melihat orang yang menuntut
ilmu dan menguasainya, mereka akan mencintai, membantu, dan memuliakannya.
20. Kenikmatan yang dirasakan dari
kekayaan adalah kenikmatan
fatamorgana atau kelezatan hewani, karena sang pemilik harta merasa nikmat
dalam mengumpulkan dan mencari hartanya. Itulah kelezatan fatamorgana dan
khayalan belaka. Dan jika ia menikmati harta yang ia belanjakan untuk pemenuhan
syahwatnya, maka itu adalah kenikmatan hewani. Tapi, kenikmatan ilmu adalah
kenikmatan akal dan ruhani. Ia mirip dengan kenikmatan dan kegembiraan para
malaikat. Perbedaan antara kedua kenikmatan itu amatlah mencolok.
21. Orang-orang berakal di seluruh dunia
mencela dan merendahkan orang yang
serakah dalam mengumpulkan harta. Namun, mereka sepakat untuk mengagungkan,
memuji, mencintai, dan menghormati orang yang semangat dalam mencari ilmu.
22. Orang-orang berakal sepakat untuk
mengagungkan orang yang bersikap
zuhud terhadap harta, tidak mau menumpuk-numpuknya, dan tidak penjadikan
hatinya sebagai hamba harta. Mereka sepakat pula untuk mencela orang yang
enggan menuntut ilmu, tidak peduli kepadanya, dan tidak giat mencarinya.
23. Pemilik harta dipuji apabila ia
melepaskan dan mengeluarkan hartanya.
Tapi, orang alim disanjung karena ia mendapatkan dan menjaga ilmunya.
24. Orang yang kaya harta diliputi rasa
cemas dan sedih. Ia sedih sebelum
mendapatkannya, takut dan cemas setelah memperolehnya. Semakin banyak hartanya,
semakin besar rasa takutnya. Sebaliknya, orang yang kaya ilmu diiringi perasaan
aman, gembira, dan bahagia.
25. Orang kaya pasti akan berpisah dengan
hartanya sehingga ia tersiksa dan
merasa sakit. Kenikmatan kaya harta itu tidak langgeng. Ia akan lenyap dan
diganti dengan rasa pedih. Sedangkan, nikmatnya kaya ilmu itu terus menerus, langgeng,
tidak berubah menyakitkan.
26. Kenikmatan dan kemuliaan yang
diperoleh dengan harta adalah
kemuliaan dengan barang pinjaman yang harus dikembalikan. Kalau seseorang
bersolek dengan memakai harta, artinya ia berdandan dengan baju pinjaman yang
harus dikembalikan kepada pemiliknya. Sedang jika ia bersolek dengan ilmu,
artinya dia mendandani dirinya dengan sesuatu yang lekat dan tidak terlepas
dari dirinya.
27. Kaya dengan harta itu sebenarnya
merupakan tanda miskinnya jiwa.
Sedang, kaya ilmu adalah kaya jiwa yang sesungguhnya. Jadi, kayanya jiwa dengan
ilmu itulah kaya yang sebenarnya, sedangkan kaya dengan harta itulah
kemiskinan.
28. Orang yang disanjung dan dimuliakan
karena hartanya, jika hartanya habis,
ia tidak lagi disanjung dan dimuliakan. Tapi, orang yang disanjung dan
dimuliakan karena ilmunya, akan terus dihormati dan dimuliakan.
29. Memuliakan seseorang karena hartanya
sama dengan menghinanya, karena itu
berarti memuliakannya dengan kekurangannya. Kalau tidak karena hartanya,
tentunya ia pantas dikesampingkan dan dihinakan. Tapi, mendahulukan seseorang
dan memuliakannya karena ilmunya itulah penghormatan sesungguhnya. Karena, itu
berarti mendahulukan dia dengan diri dan sifat yang lekat padanya, bukan dengan
sesuatu di luar hakikat dirinya.
30. Orang yang mencari kesempurnaan dengan
kekayaan harta seperti orang yang
menggabungkan dua hal yang kontradiktif. Karena ia mencari sesuatu yang tidak
mungkin ia peroleh.
31. Kenikmatan dari harta kekayaan hanya
dirasakan ketika baru mendapatkan
harta. Untuk selanjutnya, kenikmatan itu akan lenyap atau setidaknya berkurang.
Buktinya, manusia selalu mencari kekayaan yang lain dan berusaha memperoleh
tambahan terus. Mereka senantiasa berada dalam kemiskinan meski telah menguasai
sumber-sumber kekayaan bumi. Kemiskinan, pencarian, dan kerakusan mereka
melekat pada diri mereka. Mereka adalah orang-orang rakus yang tidak pernah
kenyang. Karenanya, sakitnya kerakusan dan pencarian itu tidak lepas dari
mereka.
32. Kaya harta menuntut kita memberi
nikmat kepada orang lain dan berbuat
kebajikan. Orang yang mempunyai kelapangan harta mungkin menutup pintu ini atau
membukanya. Kalau ia menutup pintu ini, maka di tengah masyarakat ia dikenal
sebagai orang yang jauh dari kebajikan dan tidak bermanfaat. Mereka membenci
dan mencercanya. Setiap orang yang dibenci manusia dan hina di mata mereka,
lebih cepat mendapat musibah dan mudharat daripada kayu bakar kering yang
disulut dengan api, dan lebih cepat daripada air bah yang membanjiri lembah. Apabila
ia tahu bahwa orang-orang tidak menyukainya dan tidak menghormatinya, maka
hatinya merasakan sakit yang sangat. Ia sedih dan gelisah.
Tapi, kalau ia membuka pintu kebajikan dan memberi sedekah, ia pun tidak mungkin menyampaikan sedekah dan kebajikannya itu kepada setiap orang. Pasti ia memberikannya kepada sebagian orang saja. Ini membuka pintu dendam dan kebencian dari orang-orang yang tidak menerima pemberian darinya terhadap orang-orang yang mendapatkannya. Orang yang tidak mendapat sedekahnya mencela, "Bagaimana dia berderma kepada orang lain, dan bakhil kepadaku?" Sedang orang yang mendapat sedekah darinya menikmati dan bergembira dengan apa yang diperolehnya. Akhirnya, ia tamak dan selalu menunggu-nunggu pemberian lagi. Padahal hampir tidak mungkin ia membagi rata sedekah hartanya tersebut, sehingga mengakibatkan permusuhan antar orang-orang. Oleh karenanya, ada yang bilang,
"Waspadailah kejahatan orang yang kau baik."
Hal-hal buruk ini tidak terdapat dalam kekayaan ilmu, karena orang yang kaya ilmu dapat menyumbangkan ilmunya kepada seluruh penghuni alam ini untuk sama-sama memilikinya; dan ilmu yang disumbangkan itu tetap ada pada orang yang memberikannya, tidak hilang. Bahkan, ia beruntung. Ia seperti orang kaya yang memberi modal kepada orang miskin untuk berdagang agar menjadi kaya seperti dirinya.
33. Aktivitas mengumpulkan harta
mengandung tiga macam kekurangan dan
cobaan, yaitu sebelum mendapatkannya, ketika mendapatkannya, dan setelah
berpisah dengannya.
Pertama, beban dan kepedihan ia rasakan karena bersusah payah mencarinya.
Kedua, kesusahan
menjaganya dan keterikatan hati kepadanya. Setiap saat ia resah dan gelisah. Ia
bagai orang yang jatuh cinta secara berlebihan. Ia telah berhasil mendapatkan
yang dicintainya, tapi semua mata tertuju kepadanya, lidah dan hati orang
merajamnya. Apakah orang yang begini keadaannya mendapatkan hidup yang nyaman?
Bagaimana hidupnya nikmat kalau dia tahu bahwa musuh-musuhnya dan orang-orang
yang iri kepadanya tidak pernah berhenti berusaha memisahkannya dari
kekasihnya. Meski mereka belum tentu merenggut kekasihnya itu, tujuan mereka
adalah agar bukan hanya dia yang memiliki si kekasih tersebut. Kalau bisa,
mereka ingin merebut kekasihnya. Namun jika tidak, cukuplah mereka sama-sama
tidak memilikinya.
Kalau mereka dapat melakukan hal
semacam itu terhadap ulama, pasti mereka lakukan. Tapi, karena mereka tahu
tidak ada jalan untuk merebut ilmunya, mereka akhirnya memilih melontarkan
kritikan kepadanya, agar rasa cinta dan penghormatan terhadapnya hilang dari
hati manusia. Mereka melemparkan tuduhan-tuduhan yang keji dan jahat supaya
orang tidak lagi suka kepadanya dan akhirnya membencinya. Seperti itulah
pekerjaan para tukang sihir.
Jadi, orang-orang tadi adalah
tukang-tukang sihir yang menggunakan lidah-lidah mereka. Kalau mereka tidak
dapat menuduhnya dengan keburukan-keburukan zahir,
maka mereka menuduhnya bahwa ia
"menyesatkan dengan pikiran-pikiran nyeleneh, riya, cinta kemegahan, dan
cari kedudukan".
Permusuhan dari orang-orang tak
berilmu dan kezaliman terhadap para ulama ini seperti panas dan dingin yang
pasti terjadi. Orang yang punya secercah cahaya akal tidak layak merasa
terganggu dan tersakiti karenanya, sebab sama sekali tidak ada cara untuk
menolaknya. Maka, hendaknya ia mengadaptasikan diri dengan hal itu, seperti ia
mengadaptasikan diri dengan musim dingin dan musim panas.
ketiga adalah yang
terjadi setelah seorang manusia berpisah dari harta bendanya. Di saat hatinya
masih terikat kepada hartanya ia sudah tak memilikinya lagi sehingga ia tidak
dapat lagi mempergunakannya. Juga karena adanya tuntutan terhadap
kewajiban-kewajiban harta benda serta muhasabah
terhadap harta yang ia terima dan ia belanjakan; dari mana ia mendapatkannya
dan ke mana ia menafkahkannya.
Adapun orang yang kaya ilmu dan iman,
di samping selamat dari kekurangan dan ujian-ujian di atas, ia menikmati segala
kenikmatan dan kegembiraan, meski ia tidak mendapatkannya tanpa melalui
jembatan kelelahan, sabar, dan menanggung beban berat.
34. Kenikmatan orang kaya yang menikmati
hartanya semata, tanpa tergantung
kepada pembantu, istri, atau orang lain, tidaklah sempurna. Ia tidak dapat
memanfaaatkan hartanya secara maksimal. Jadi lengkapnya kenikmatan dengan harta
itu tergantung kepada hubungannya dengan orang lain. Dan itu adalah sumber
cobaan, meski hanya berupa perbedaan tabiat dan kehendak manusiawi. Karena yang
buruk menurut seseorang terkadang baik menurut orang lain. Yang menjadi
maslahat bagi satu pihak, justru merupakan sebab bahaya buat pihak lain.
Jadi, ia diuji dan mendapat cobaan dengan adanya orang-orang yang ia butuhkan. Pasti terjadi kebencian dan permusuhan antara mereka dengan dia, karena menyenangkan hati mereka semua mustahil. Sementara, menyenangkan sebagian dengan membuat kecewa yang lain adalah faktor timbulnya permusuhan. Semakin lama pergaulan dengan mereka, semakin banyak dan kuat benih-benih permusuhan. Karena itulah, kejahatan yang timbul dari perbuatan kaum kerabat jauh lebih banyak daripada kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Pergaulan ini hanya terjadi pada orang yang kaya harta. Tapi kalau ia tidak berbuat kebaikan bagi mereka, mereka tidak mau bergaul dengannya, sehingga ia lepas dari risiko pergaulan. Kekurangan dan cobaan ini terhitung sedikit pada orang yang kaya ilmu.
35. Harta (uang) tidak dicari karena wujud
dan bendanya itu sendiri. Karena
wujud dan bentuknya tidak ada manfaatnya sama sekali. Ia tidak mengenyangkan,
tidak menghilangkan dahaga, dan tidak menghangatkan dan memberi rasa nikmat.
Harta dicari karena dengannya hal-hal tersebut bisa didapatkan. Ia adalah jalan
untuk mendapatkan manfaat-manfaat di atas, maka ia dicari dan diinginkan
sebagai sarana saja. Dan seperti kita maklumi, tujuan lebih mulia daripada sarana.
Jadi, tujuan-tujuan di atas lebih mulia daripada harta itu sendiri. Meski
demikian, tujuan-tujuan itu dibanding harta, tetap saja rendah dan hina.
Banyak cendekiawan berpendapat,
hakikat tujuan-tujuan di atas hanya satu: menolak sakit. Memakai baju,
misalnya. Faidahnya hanyalah menolak sakit akibat panas, dingin, dan angin.
Tidak ada kenikmatan lebih dari itu dalam memakai baju. Demikian pula makan, faidahnya
mengusir lapar. Kalau tidak lapar, seseorang tidak merasa nikmat makan. Begitu
juga minum akibat haus dan istirahat karena lelah.
Dan kita maklum, usaha mendapatkannya
mengandung sakit dan mudharat juga. Tetapi, mudharat dan sakitnya lebih ringan
daripada mudharat dan sakit akibat obatnya. Karenanya, manusia mengambil
mudharat yang paling ringan untuk menolak yang berat. Dikisahkan, seorang
cendekiawan ditanya ketika ia meminum obat yang pahit, "Bagaimana
rasanya?" Ia menjawab, "Aku merasa berada di tempat yang menyiksa.
Aku menolak bahaya dengan kepahitan." Pada hakikatnya, kenikmatan-
kenikmatan dunia (makan, minum, sandang, papan, dan pernikahan) sama dengan
obat itu.
Adapun kekayaan ilmu dan iman, kenikmatannya langgeng. Kegembiraannya terus menerus dan membawa berbagai jenis kesenangan. Kekayaan ini tidak hilang sehingga menyedihkan, tidak terpisah sehingga menyakitkan. Para pemiliknya adalah orang-orang yang seperti diceritakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami ialah Allah', kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berdukacita." (QS. Al-Ahqaaf: 13)
36. Orang yang kaya harta benci kematian,
pintu pertemuan dengan Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. Karena cintanya kepada harta ia tidak rela berpisah
darinya. la ingin selalu bersamanya untuk terus bersenang-senang. Ini terbukti
secara riil. Tapi, ilmu menumbuhkan keinginan berjumpa dengan Tuhan pada diri
seorang hamba dan menjadikannya zuhud terhadap kehidupan yang fana ini.
37. Orang-orang kaya tidak lagi dikenang
setelah meninggal, tapi para ulama
selalu diingat sepanjang masa. Orang-orang yang menumpuk harta, meski masih
hidup, bagai orang mati. Namun, para ulama setelah meninggal tetap seperti
orang yang masih hidup.
38. Fungsi ilmu bagi jiwa seperti fungsi
ruh bagi badan. Mati dan hidupnya ruh
adalah dengan ilmu, sebagaimana hidup dan matinya tubuh adalah dengan ruh.
Jadi, orang yang kaya harta tujuannya adalah menambah hidupnya badan. Namun,
ilmu menghidupkan hati dan ruh sebagaimana diterangkan sebelumnya.
39. Hati adalah raja tubuh dan ilmu adalah
hiasan, perlengkapan, dan penopang
kerajaannya. Seorang raja pasti membutuhkan perlengkapan, harta, dan perhiasan.
Nah, ilmu adalah kendaraan, perlengkapan dan keindahan hati. Adapun harta,
paling banter menjadi hiasan dan keindahan bagi badan apabila dibelanjakan.
Sedangkan jika disimpan saja, tidak dibelanjakan, ia tidak menjadi hiasan atau
keindahan bahkan menjadi kekurangan dan bencana. Kita maklum kalau perhiasan
seorang raja lebih gemerlap dan lebih baik daripada perhiasan rakyatnya.
Jadi, penopang hati adalah ilmu,
sebagaimana tegaknya tubuh adalah tergantung pada makanan.
40. Yang dibutuhkan dari harta adalah
kadar yang dapat mencukupi seseorang,
mempertahankan hidupnya dan memenuhi kebutuhan vitalnya sehingga dapat
menyiapkan diri dan berbekal dalam menempuh perjalanannya kepada Tuhan. Apabila
lebih dari kadar kebutuhan itu, harta menyibukkannya, mengganggu perjalanannya,
dan melupakannya tentang penyiapan bekal. Oleh karena itu, mudharat harta lebih
banyak daripada maslahatnya. Semakin kaya seseorang dengan harta, makin
terpuruklah ia dan tidak dapat menyiapkan menghadapi apa yang menanti di
hadapannya. Adapun ilmu yang bermanfaat, semakin bertambah bekal seseorang
dengannya, semakin banyak pula bekal dan penyiapan keperluan perjalanan.
Bekal perjalanan ini adalah ilmu dan
amal, sedang bekal untuk tinggal adalah mengumpulkan dan menyimpan harta. Orang
yang menghendaki sesuatu pasti menyiapkan perbekalannya untuk mendapatkannya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
"Dan jika
mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan
itu. Tetapi, Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka, Allah melemahkan
keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, 'Tinggallah kamu bersama
orang-orang yang tinggal itu.'" (QS. At-Taubah:
46)
Demikian
keutamaan ilmu di bandingkan harta, semoga dalam hidup ini kita lebih
memprioritaskan ilmu dari pada harta. Yang mana harta yang kita miliki
hendaknya sebagai jalan untuk ketaatan
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan
keberkahan kepada kita semua.. Aamiin..
Abu Musyaffa’ Hardadi
Rujukan :
Miftah Daaris Sa’adah
karangan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullahu Ta’ala.
Posting Komentar untuk "40 KEUTAMAAN ILMU DI BANDINGKAN HARTA"